Aku cemas, takut, khawatir. Dia datang, dia yang selama ini ku harap tak pernah datang. Aku menunggunya, namun aku tak ingin dia datang saat ini. Dia akan mengangguku, mengganggu otakku, mengganggu konsetrasi ku, membuyarkan duniaku yang tenang dan damai.
Tapi dia telah terlanjur datang, tak mungkin aku menendangnya keluar, bukankah tak sopan jika kita mengusir orang yang datang? Tapi ini berbeda, dia bukan tamu biasa. Jika dia datang, dia tak akan berfikir untuk pergi untuk waktu yang lama. Tuhan, bantu aku membuatnya pergi.
Orang yang ku maksud datang berkunjung bukanlah seorang tamu yang datang ke rumahku, terlalu berlebihan jika seorang tamu bisa mengganggu ku sebegitu jauh. Tak mungkin. Tamu itu adalah tamu yang tak ku inginkan. Tamu itu tak mengetuk pintu rumah, tapi ia mengetuk pintu hatiku. Dan membuatnya terbuka. Lalu ia masuk dan diam di sana dalam waktu yang tak sebentar. Aku tak tau hingga kapan ia bertahan di sana.
Anugrah. Begitulah orang-orang lazim memanggilnya. Anugrah, namanya terlalu mencolok, memperlihatkan betapa orangtuanya menganggap dia Anugrah dari Tuhan. Ku rasa memang tak salah, nama itu cocok untuknya. Dia bagai anugrah Tuhan yang diturunkan untuk umat manusia. Pria itu tinggi semampai, saat ia berbicara, seluruh ruangan bergema. Bukan ruangan kelas, tapi ruang di hatiku. Parasnya tak membuat murung saat melihatnya, tapi tak juga membuat begitu berbunga-bunga, cukup tampan. Bisa dilihat dari kacamata yang dikenakannya, ia tipe orang yang sangat menggilai buku. Sering membaca buku namun tak ada yang menyebutnya kutu buku, karena dia membaca buku di waktu dan tempat yang tepat, tidak dengan membawa buku kemanapun ia pergi. Seringkali ku lihat ia membaca sebuah buku tentang dasar ilmu kedokteran di saat senggang setelah menyelesaikan tugas yang diberikan guru. Tidak hanya sampai di sana anugrahnya, ia juga pandai berinteraksi dengan orang-orang disekitarnya, di kalangan guru, ia terkenal sebagai murid yang ramah dan berprestasi, dikalangan siswa ia juga dikenal pandai membaca situasi dan kondisi, sehingga berbicara apapun dengannya pasti nyambung. Saking pandainya berinteraksi, ia membuat banyak gadis yang mengenalnya jatuh hati. Termasuk aku. Yap! Anugrah telah berhasil mengetuk pintu hatiku dan masuk ke dalamnya. Meski begitu, aku tak tahu, dan aku tak yakin akan berhasil mengetuk pintu hatinya dan masuk ke sana. Aku merasa itu seperti mengetuk pintu istana yang begitu megah dan penuh dengan sistem keamanan yang ketat.
"Rista...." Sebuah suara tiba-tiba menghancurkan lamunanku yang sudah terbang terlalu jauh. Suara itu sangat ku kenal sepertinya, aku terperanjat saat mendongak dan melihat siapa gerangan yang mengusik lamunanku. Ternyata ia tak hanya mengusik lamunanku, ia juga sudah mengusik ketenanganku.
"Kenapa sebegitu kagetnya? Kau melihatku seperti hantu. Bisakah kau ubah pandanganmu itu? Matamu terlalu membulat seperti akan meninggalkan tempatnya. Kau sedang melamunkanku?" Dalam hati aku menjawab "ya" tapi tentu saja itu takkan ku perjelas dengan lidahku. "Kenapa aku harus melamunkanmu? Aku sedang melamunkan......"
"Ah, sudahlah, kenapa harus membicarakan lamunanmu? Memangnya aku peduli? Kalaupun kau melamunkanku, aku takkan menyalahkanmu karena aku tahu aku sering dilamunkan banyak wanita, terutama wanita yang sok jutek sepertimu, Hahahah" Tawanya lepas, aku terperangah. Hampir saja aku terkena tebaran pesonanya. Untung aku mengingat kata-kata yang keluar dari mulutnya sebelum tawanya memecah keheningan ruangan, ruang dihatiku tentunya. Huuhh, dasar pria ini, menyebalkan. Aku tak habis fikir, dulu saat awal menjadi teman seruangan di sini, aku sangat membencinya. Dia terlihat sok akrab dan gampang sekali berbaur dengan yang lain, siapapun yang berguyon dengannya, pasti terselip tawa, dan tawanya begitu bergema, suaranya terlalu berisik untukku. Dan entah sejak kapan dia yang dulu adalah makhluk ter-menyebalkan bagiku menjadi makhluk yang sangat ku harapkan menjadi jodohku kelak. Harapan yang konyol, tapi menurutku itu lumrah dikalangan remaja seusiaku. Karena usiaku adalah usia remaja labil, 16 tahun.
"Hey, kenapa malah melanjutkan lamunan? Aku di sini, di depan matamu, tak perlu kau lamunkan" kedua kalinya ia membuatku melamun lalu membuyarkannya.
"Ah dasar" gerutu ku. Aku diam sejenak. Ku lihat sekitarku, tak begitu banyak orang di sini, banyak siswa yang sedang jajan ke kantin. Aku berfikir berulang kali untuk melakukan apa yang ada di otakku. Hal gila, hal bodoh. Tapi aku tak bisa mengendalikannya, dan mungkin aku takkan memiliki kesempatan lagi. Tanpa banyak memperhitungkan kelogisan, aku memulai hal itu.
"Anugrah, aku ingin bicara sesuatu, ini bukan lelucon" ucapku membuka mulut.
"Bicara soal apa? Aku akan mendengarkan" balasnya.
"Aku tau ini tak wajar, aku tau aku bodoh mengatakan ini, tapi aku hanya ingin kau tahu. Aku menganggapmu lebih dari sekedar seorang teman. Aku selalu berharap bisa mengenalmu lebih dekat, tapi ku rasa kau tak menginginkannya. Aku minta maaf sudah berkata begini, aku tau kau tak mungkin peduli apalagi memiliki perasaan yang sama untukku. Tapi aku tak peduli itu. Aku hanya ingin menyampaikan apa yang hatiku katakan. Maaf jika topik pembicaraanku ini mengganggumu"
Ku tatap mimpi dan harapanku itu lekat-lekat, aku memang sangat berharap padanya, tapi aku tau itu tak mungkin, banyak gadis lain yang lebih baik dariku. Lebih tinggi, lebih cantik, lebih pintar, dan lebih menarik untuknya. Aku bertekad untuk tak berharap banyak padanya.
"Aku tahu. Aku tahu kau ingin mengenalku lebih dekat. Sebenarnya kau tak perlu mengenalku lebih. Kau akan membenciku jika kau lebih mengenalku. Aku tak se-'perfect' yang kau kira. Aku merasa aku masih harus lebih banyak belajar dan berusaha untuk menjadi pria-mu"
Aku terhening. Tak tahu apa yang harus kuucap, dan tak mengerti apa maksudnya. Apakah dia tak menyukaiku? Atau dia juga menyukaiku? Jika tidak, mengapa ia merasa harus lebih banyak belajar untuk menjadi pria-ku. 'Pria-ku'???
To be continued....

No comments:
Post a Comment