Friday, November 7, 2014

Cerpen Berchapter {Anugrah (Chapter 2)}

Aku terhening. Tak tahu apa yang harus kuucap, dan tak mengerti apa maksudnya. Apakah dia tak menyukaiku? Atau dia juga menyukaiku? Jika tidak, mengapa ia merasa harus lebih banyak belajar untuk menjadi pria-ku. 'Pria-ku'???

Sejak hari itu, aku terus bertanya-tanya, apa maksud perkataan Anugrah. Aku tak mengerti, dan ia tak menjelaskan padaku. Pertanyaan yang menghujam otak ku terasa semakin memberat. Anugrah tak memberikan kepastian padaku. Ia tak berkata ia juga ingin mengenalku lebih dekat dan ingin memiliki hubungan lebih dari sekedar teman. Namun ia juga tak berkata tak ingin aku berharap padanya. Jadi apa maksudnya? Dia menyukaiku atau tidak? Atau dia ingin mempermainkan perasaanku? Ia hanya bersikap seperti sebelumnya padaku. Tak menjauh dan tak juga mendekat. Tapi hatiku mengatakan ada pembatas, entah apa itu. Namun itu bagaikan tembok yang tinggi menjulang dan kokoh dan di baliknya ada lautan yang membentang luas. Hatiku terasa semakin jauh dari hatinya. Apakah begitu? Jika ya, mengapa ia tak terus terang dan mengatakan ia tak akan berfikir untuk bersamaku. Tapi jika pembatas itu tak ada, dan jika ia memiliki perasaan padaku, mengapa ia tak jujur? Apa ia gengsi? Aku terlalu buruk untuknya dan dia terlalu baik untukku, begitukah? Aku tak tahu, aku benar-benar tak tahu. Aku terlalu berharap saat mendengar ia merasa perlu banyak berusaha untuk menjadi pria-ku.
"Anugrah.." sapaku pada pria yang membuat segudang pertanyaan dibenakku tak terjawab. Ia melirik ke arah suaraku. Ia lalu menghampiriku. Saat ia berjalan menujuku, aku kira jantungku bekerja lebih keras.
"Ada apa?" Dia kini tepat di depanku.
"Aku ingin membahas lagi pembicaraan kita di waktu yang lalu. Tapi tak sekarang. Mungkin sepulang sekolah saat sekolah sudah sepi"
"Apa lagi yang ingin kau bahas? Bukankah aku sudah memberi jawabanku? Ku rasa kita tak perlu membahasnya lagi." Jawabnya jelas.
"Tapi aku tak mengerti maksud perkataanmu, kau tak mengatakannya dengan jelas. Aku hanya ingin mengerti maksud perkataanmu" ucapku setengah bersemangat.
"Aku rasa sudah jelas. Aku tak bisa menjalin hubungan denganmu lebih dari teman. Kau tahu aku tak pantas untukmu. tapi aku juga tak ingin kau benci padaku. Cukup menjadi teman biasa. Kembali seperti saat sebelum kau memiliki perasaan itu padaku. Aku sangat menyesal, maaf aku tak bisa memberi jawaban yang kau inginkan. Ku harap kau tak membenciku. Karena aku masih ingin mengenalmu. Dan kau bisa meminta pertolonganku kapan saja saat kau membutuhkanku"
Tiba-tiba semuanya gelap.
.
.
.
Perlahan aku berusaha melihat cahaya di luar. Indra penciumku menghirup udara yang dulu tak asing bagiku.  Udara yang ku benci, suasana yang tak kusukai. Aku mencoba bangkit perlahan hingga ku sadari  ada seseorang yang duduk di samping aku terbaring.
"Anugrah? Aku dimana? Kenapa aku disini?" Aku bertanya.
"Ini di UKS. Kau tiba-tiba jatuh saat kita sedang berbicara tadi. Maafkan aku, mungkin perkataanku keterlaluan." Nada bicaranya rendah. Dia seperti merasa bersalah. Aku mengerutkan dahiku yang tak terlalu lebar.
"Untunglah hanya UKS, ku kira kau membawaku ke rumah sakit. Aku tak apa-apa Anugrah, kau tak perlu meminta maaf. Tapi tunggu, bisa kau jelaskan? Sebelum kau membawaku ke sini, kita sedang membicarakan apa?"
Anugrah terdiam. Ia ragu untuk jujur. Lalu ia mengganti topik.
"Bukan apa-apa, tidak terlalu penting. Ngomong-ngomong, kau terlihat sehat-sehat saja, mengapa kau bisa pingsan? Saat kau pingsan aku berusaha memberikan pertolongan pertama, kau tahu kan aku ini calon dokter?" Seuntai senyum terlukis dibibirnya. "Tapi aku tak bisa menemukan penyebab mengapa kau pingsan. Kau tak seperti orang yang kekurangan nutrisi ataupun berpenyakit akut. Saat ku periksa tubuhmu normal. Seperti orang yang tertidur. Jadi aku menyerah dan meminta bantuan petugas kesehatan, tapi mereka juga tak tahu harus memberimu obat apa. Mereka hanya meninggalkanmu vitamin ini" Anugrah menyodorkan 2 buah kapsul vitamin dan segelas air padaku. Aku menyambutnya dengan senyum. Malu, senang, bahagia. Aku benar-benar merasa tak sakit sama sekali. Jiwaku dibawanya melayang, Tuhan, aku rela di bawa ke tempat dengan suasana dan mengerikan ini berkali-kali asalkan bersamanya.
"Terima kasih, aku tak menyangka kau akan mau menungguku di sini. Apa tidak apa-apa kau meninggalkan pelajaran biologi dan matematika? Itu kan pelajaran yang sangat kau gilai. Dan sangat membuatku pusing dan tak mengerti. Aku lelah membaca angka, rumus dan bahasa aneh yang tak kumengerti itu."
"Hahaha, kau ini. Tak ku sangka kau begitu benci pada subject yang ku sukai. Tapi kau beruntung bisa begitu menyukai bahasa Inggris yang menurutku sangat membingungkan. Terlalu banyak aturan. Pengucapannya ribet. Aku lebih cinta bahasa negeriku. Bahasa Indonesia. Hahaha" Dia tertawa lepas (lagi). Aku serasa sedang berada di langit. Tak ingin turun. Jantungku berpacu dengan cepat. Dia benar-benar........ Pria yang sangaaat sangaaatt ku kagumi, ku sukai, dan bahkan sepertinya sekarang aku mulai menyayanginya. Ingin sekali aku merengkuh tubuhnya. Tapi bejatnya diriku jika melakukannya. Dia pasti akan membenciku. Ristaa... kendalikan kesadaranmu. Kendalikan emosimu.
"Jadi, apa kau tahu penyebab kau pingsan seperti tadi? Atau kau hanya tertidur? Tapi tak mungkin kan kau tidur di waktu yang asal seperti tadi? Kalau kau tak tahu atau tak mau menjelaskan, aku akan kembali ke kelas. Biologi masih 1 jam pelajaran lagi." Ungkapnya sembari hendak beranjak dari duduknya.
"Jangan. Ku mohon temani aku di sini. Aku akan menjelaskannya. Tapi kau mungkin akan ketinggalan pelajaran terakhir. Ceritanya begitu panjang dan mungkin kau yang hanya calon dokter biasa akan sulit mengerti, hahah. Tak banyak yang tahu tentang hal ini. Karena orang bodoh sepertiku tak pandai bergaul sepertimu. Aku memberitahumu karena aku sangat menyukaimu. Ku harap kau membuka hatimu untukku" Akhirnya aku harus membuka mulut. Aku rasa aku tak perlu menyembunyikan apapun darinya. Aku merasa aku akan jujur tentang semua hal padanya.
"Kalau masalah hati, aku tak bisa berjanji padamu. Karena aku tak ingin memaksakannya. Biar waktu yang menjawab. Baiklah, aku akan mendengarkan semuanya dengan senang hati. Aku senang jika kau mau terbuka denganku. Dan mungkin bila nanti saatnya tiba, aku juga akan terbuka padamu. Aku juga akan memberitahumu tentangku. Tapi maaf, untuk saat ini aku masih belum bisa." Ia menjawab dengan nada yang sangat ku suka. Dia mau mengerti. Aku bahagia dan bersyukur menyukai dan mengagumi orang sepertinya. Aku yakin dia akan menjadi miliknya suatu saat nanti. Aku akan berusaha. Dengan semangat 45, aku memulai ceritaku yang sebenarnya membuatku tak nyaman untuk berbagi dengan orang lain. Tapi dia Anugrah. Aku akan menceritakan apapun padanya jika ia mau mendengar. Aku ingin dia mengenalku lebih jauh meskipun ia tak ingin.
.
.
To be continued......

Wednesday, November 5, 2014

Cerpen Berchapter {Anugrah (Chapter 1)}

Aku cemas, takut, khawatir. Dia datang, dia yang selama ini ku harap tak pernah datang. Aku menunggunya, namun aku tak ingin dia datang saat ini. Dia akan mengangguku, mengganggu otakku, mengganggu konsetrasi ku, membuyarkan duniaku yang tenang dan damai.
Tapi dia telah terlanjur datang, tak mungkin aku menendangnya keluar, bukankah tak sopan jika kita mengusir orang yang datang? Tapi ini berbeda, dia bukan tamu biasa. Jika dia datang, dia tak akan berfikir untuk pergi untuk waktu yang lama. Tuhan, bantu aku membuatnya pergi.
Orang yang ku maksud datang berkunjung bukanlah seorang tamu yang datang ke rumahku, terlalu berlebihan jika seorang tamu bisa mengganggu ku sebegitu jauh. Tak mungkin. Tamu itu adalah tamu yang tak ku inginkan. Tamu itu tak mengetuk pintu rumah, tapi ia mengetuk pintu hatiku. Dan membuatnya terbuka. Lalu ia masuk dan diam di sana dalam waktu yang tak sebentar. Aku tak tau hingga kapan ia bertahan di sana.
Anugrah. Begitulah orang-orang lazim memanggilnya. Anugrah, namanya terlalu mencolok, memperlihatkan betapa orangtuanya menganggap dia Anugrah dari Tuhan. Ku rasa memang tak salah, nama itu cocok untuknya. Dia bagai anugrah Tuhan yang diturunkan untuk umat manusia. Pria itu tinggi semampai, saat ia berbicara, seluruh ruangan bergema. Bukan ruangan kelas, tapi ruang di hatiku. Parasnya tak membuat murung saat melihatnya, tapi tak juga membuat begitu berbunga-bunga, cukup tampan. Bisa dilihat dari kacamata yang dikenakannya, ia tipe orang yang sangat menggilai buku. Sering membaca buku namun tak ada yang menyebutnya kutu buku, karena dia membaca buku di waktu dan tempat yang tepat, tidak dengan membawa buku kemanapun ia pergi. Seringkali ku lihat ia membaca sebuah buku tentang dasar ilmu kedokteran di saat senggang setelah menyelesaikan tugas yang diberikan guru. Tidak hanya sampai di sana anugrahnya, ia juga pandai berinteraksi dengan orang-orang disekitarnya, di kalangan guru, ia terkenal sebagai murid yang ramah dan berprestasi, dikalangan siswa ia juga dikenal pandai membaca situasi dan kondisi, sehingga berbicara apapun dengannya pasti nyambung. Saking pandainya berinteraksi, ia membuat banyak gadis yang mengenalnya jatuh hati. Termasuk aku. Yap! Anugrah telah berhasil mengetuk pintu hatiku dan masuk ke dalamnya. Meski begitu, aku tak tahu, dan aku tak yakin akan berhasil mengetuk pintu hatinya dan masuk ke sana. Aku merasa itu seperti mengetuk pintu istana yang begitu megah dan penuh dengan sistem keamanan yang ketat. 
"Rista...." Sebuah suara tiba-tiba menghancurkan lamunanku yang sudah terbang terlalu jauh. Suara itu sangat ku kenal sepertinya, aku terperanjat saat mendongak dan melihat siapa gerangan yang mengusik lamunanku. Ternyata ia tak hanya mengusik lamunanku, ia juga sudah mengusik ketenanganku.
"Kenapa sebegitu kagetnya? Kau melihatku seperti hantu. Bisakah kau ubah pandanganmu itu? Matamu terlalu membulat seperti akan meninggalkan tempatnya. Kau sedang melamunkanku?" Dalam hati aku menjawab "ya" tapi tentu saja itu takkan ku perjelas dengan lidahku. "Kenapa aku harus melamunkanmu? Aku sedang melamunkan......"
"Ah, sudahlah, kenapa harus membicarakan lamunanmu? Memangnya aku peduli? Kalaupun kau melamunkanku, aku takkan menyalahkanmu karena aku tahu aku sering dilamunkan banyak wanita, terutama wanita yang sok jutek sepertimu, Hahahah" Tawanya lepas, aku terperangah. Hampir saja aku terkena tebaran pesonanya. Untung aku mengingat kata-kata yang keluar dari mulutnya sebelum tawanya memecah keheningan ruangan, ruang dihatiku tentunya. Huuhh, dasar pria ini, menyebalkan. Aku tak habis fikir, dulu saat awal menjadi teman seruangan di sini, aku sangat membencinya. Dia terlihat sok akrab dan gampang sekali berbaur dengan yang lain, siapapun yang berguyon dengannya, pasti terselip tawa, dan tawanya begitu bergema, suaranya terlalu berisik untukku. Dan entah sejak kapan dia yang dulu adalah makhluk ter-menyebalkan bagiku menjadi makhluk yang sangat ku harapkan menjadi jodohku kelak. Harapan yang konyol, tapi menurutku itu lumrah dikalangan remaja seusiaku. Karena usiaku adalah usia remaja labil, 16 tahun.
"Hey, kenapa malah melanjutkan lamunan? Aku di sini, di depan matamu, tak perlu kau lamunkan" kedua kalinya ia membuatku melamun lalu membuyarkannya.
"Ah dasar" gerutu ku. Aku diam sejenak. Ku lihat sekitarku, tak begitu banyak orang di sini, banyak siswa yang sedang jajan ke kantin. Aku berfikir berulang kali untuk melakukan apa yang ada di otakku. Hal gila, hal bodoh. Tapi aku tak bisa mengendalikannya, dan mungkin aku takkan memiliki kesempatan lagi. Tanpa banyak memperhitungkan kelogisan, aku memulai hal itu.
"Anugrah, aku ingin bicara sesuatu, ini bukan lelucon" ucapku membuka mulut.
"Bicara soal apa? Aku akan mendengarkan" balasnya.
"Aku tau ini tak wajar, aku tau aku bodoh mengatakan ini, tapi aku hanya ingin kau tahu. Aku menganggapmu lebih dari sekedar seorang teman. Aku selalu berharap bisa mengenalmu lebih dekat, tapi ku rasa kau tak menginginkannya. Aku minta maaf sudah berkata begini, aku tau kau tak mungkin peduli apalagi memiliki perasaan yang sama untukku. Tapi aku tak peduli itu. Aku hanya ingin menyampaikan apa yang hatiku katakan. Maaf jika topik pembicaraanku ini mengganggumu"
Ku tatap mimpi dan harapanku itu lekat-lekat, aku memang sangat berharap padanya, tapi aku tau itu tak mungkin, banyak gadis lain yang lebih baik dariku. Lebih tinggi, lebih cantik, lebih pintar, dan lebih menarik untuknya. Aku bertekad untuk tak berharap banyak padanya.
"Aku tahu. Aku tahu kau ingin mengenalku lebih dekat. Sebenarnya kau tak perlu mengenalku lebih. Kau akan membenciku jika kau lebih mengenalku. Aku tak se-'perfect' yang kau kira. Aku merasa aku masih harus lebih banyak belajar dan berusaha untuk menjadi pria-mu"
Aku terhening. Tak tahu apa yang harus kuucap, dan tak mengerti apa maksudnya. Apakah dia tak menyukaiku? Atau dia juga menyukaiku? Jika tidak, mengapa ia merasa harus lebih banyak belajar untuk menjadi pria-ku. 'Pria-ku'???
To be continued....