Friday, November 7, 2014

Cerpen Berchapter {Anugrah (Chapter 2)}

Aku terhening. Tak tahu apa yang harus kuucap, dan tak mengerti apa maksudnya. Apakah dia tak menyukaiku? Atau dia juga menyukaiku? Jika tidak, mengapa ia merasa harus lebih banyak belajar untuk menjadi pria-ku. 'Pria-ku'???

Sejak hari itu, aku terus bertanya-tanya, apa maksud perkataan Anugrah. Aku tak mengerti, dan ia tak menjelaskan padaku. Pertanyaan yang menghujam otak ku terasa semakin memberat. Anugrah tak memberikan kepastian padaku. Ia tak berkata ia juga ingin mengenalku lebih dekat dan ingin memiliki hubungan lebih dari sekedar teman. Namun ia juga tak berkata tak ingin aku berharap padanya. Jadi apa maksudnya? Dia menyukaiku atau tidak? Atau dia ingin mempermainkan perasaanku? Ia hanya bersikap seperti sebelumnya padaku. Tak menjauh dan tak juga mendekat. Tapi hatiku mengatakan ada pembatas, entah apa itu. Namun itu bagaikan tembok yang tinggi menjulang dan kokoh dan di baliknya ada lautan yang membentang luas. Hatiku terasa semakin jauh dari hatinya. Apakah begitu? Jika ya, mengapa ia tak terus terang dan mengatakan ia tak akan berfikir untuk bersamaku. Tapi jika pembatas itu tak ada, dan jika ia memiliki perasaan padaku, mengapa ia tak jujur? Apa ia gengsi? Aku terlalu buruk untuknya dan dia terlalu baik untukku, begitukah? Aku tak tahu, aku benar-benar tak tahu. Aku terlalu berharap saat mendengar ia merasa perlu banyak berusaha untuk menjadi pria-ku.
"Anugrah.." sapaku pada pria yang membuat segudang pertanyaan dibenakku tak terjawab. Ia melirik ke arah suaraku. Ia lalu menghampiriku. Saat ia berjalan menujuku, aku kira jantungku bekerja lebih keras.
"Ada apa?" Dia kini tepat di depanku.
"Aku ingin membahas lagi pembicaraan kita di waktu yang lalu. Tapi tak sekarang. Mungkin sepulang sekolah saat sekolah sudah sepi"
"Apa lagi yang ingin kau bahas? Bukankah aku sudah memberi jawabanku? Ku rasa kita tak perlu membahasnya lagi." Jawabnya jelas.
"Tapi aku tak mengerti maksud perkataanmu, kau tak mengatakannya dengan jelas. Aku hanya ingin mengerti maksud perkataanmu" ucapku setengah bersemangat.
"Aku rasa sudah jelas. Aku tak bisa menjalin hubungan denganmu lebih dari teman. Kau tahu aku tak pantas untukmu. tapi aku juga tak ingin kau benci padaku. Cukup menjadi teman biasa. Kembali seperti saat sebelum kau memiliki perasaan itu padaku. Aku sangat menyesal, maaf aku tak bisa memberi jawaban yang kau inginkan. Ku harap kau tak membenciku. Karena aku masih ingin mengenalmu. Dan kau bisa meminta pertolonganku kapan saja saat kau membutuhkanku"
Tiba-tiba semuanya gelap.
.
.
.
Perlahan aku berusaha melihat cahaya di luar. Indra penciumku menghirup udara yang dulu tak asing bagiku.  Udara yang ku benci, suasana yang tak kusukai. Aku mencoba bangkit perlahan hingga ku sadari  ada seseorang yang duduk di samping aku terbaring.
"Anugrah? Aku dimana? Kenapa aku disini?" Aku bertanya.
"Ini di UKS. Kau tiba-tiba jatuh saat kita sedang berbicara tadi. Maafkan aku, mungkin perkataanku keterlaluan." Nada bicaranya rendah. Dia seperti merasa bersalah. Aku mengerutkan dahiku yang tak terlalu lebar.
"Untunglah hanya UKS, ku kira kau membawaku ke rumah sakit. Aku tak apa-apa Anugrah, kau tak perlu meminta maaf. Tapi tunggu, bisa kau jelaskan? Sebelum kau membawaku ke sini, kita sedang membicarakan apa?"
Anugrah terdiam. Ia ragu untuk jujur. Lalu ia mengganti topik.
"Bukan apa-apa, tidak terlalu penting. Ngomong-ngomong, kau terlihat sehat-sehat saja, mengapa kau bisa pingsan? Saat kau pingsan aku berusaha memberikan pertolongan pertama, kau tahu kan aku ini calon dokter?" Seuntai senyum terlukis dibibirnya. "Tapi aku tak bisa menemukan penyebab mengapa kau pingsan. Kau tak seperti orang yang kekurangan nutrisi ataupun berpenyakit akut. Saat ku periksa tubuhmu normal. Seperti orang yang tertidur. Jadi aku menyerah dan meminta bantuan petugas kesehatan, tapi mereka juga tak tahu harus memberimu obat apa. Mereka hanya meninggalkanmu vitamin ini" Anugrah menyodorkan 2 buah kapsul vitamin dan segelas air padaku. Aku menyambutnya dengan senyum. Malu, senang, bahagia. Aku benar-benar merasa tak sakit sama sekali. Jiwaku dibawanya melayang, Tuhan, aku rela di bawa ke tempat dengan suasana dan mengerikan ini berkali-kali asalkan bersamanya.
"Terima kasih, aku tak menyangka kau akan mau menungguku di sini. Apa tidak apa-apa kau meninggalkan pelajaran biologi dan matematika? Itu kan pelajaran yang sangat kau gilai. Dan sangat membuatku pusing dan tak mengerti. Aku lelah membaca angka, rumus dan bahasa aneh yang tak kumengerti itu."
"Hahaha, kau ini. Tak ku sangka kau begitu benci pada subject yang ku sukai. Tapi kau beruntung bisa begitu menyukai bahasa Inggris yang menurutku sangat membingungkan. Terlalu banyak aturan. Pengucapannya ribet. Aku lebih cinta bahasa negeriku. Bahasa Indonesia. Hahaha" Dia tertawa lepas (lagi). Aku serasa sedang berada di langit. Tak ingin turun. Jantungku berpacu dengan cepat. Dia benar-benar........ Pria yang sangaaat sangaaatt ku kagumi, ku sukai, dan bahkan sepertinya sekarang aku mulai menyayanginya. Ingin sekali aku merengkuh tubuhnya. Tapi bejatnya diriku jika melakukannya. Dia pasti akan membenciku. Ristaa... kendalikan kesadaranmu. Kendalikan emosimu.
"Jadi, apa kau tahu penyebab kau pingsan seperti tadi? Atau kau hanya tertidur? Tapi tak mungkin kan kau tidur di waktu yang asal seperti tadi? Kalau kau tak tahu atau tak mau menjelaskan, aku akan kembali ke kelas. Biologi masih 1 jam pelajaran lagi." Ungkapnya sembari hendak beranjak dari duduknya.
"Jangan. Ku mohon temani aku di sini. Aku akan menjelaskannya. Tapi kau mungkin akan ketinggalan pelajaran terakhir. Ceritanya begitu panjang dan mungkin kau yang hanya calon dokter biasa akan sulit mengerti, hahah. Tak banyak yang tahu tentang hal ini. Karena orang bodoh sepertiku tak pandai bergaul sepertimu. Aku memberitahumu karena aku sangat menyukaimu. Ku harap kau membuka hatimu untukku" Akhirnya aku harus membuka mulut. Aku rasa aku tak perlu menyembunyikan apapun darinya. Aku merasa aku akan jujur tentang semua hal padanya.
"Kalau masalah hati, aku tak bisa berjanji padamu. Karena aku tak ingin memaksakannya. Biar waktu yang menjawab. Baiklah, aku akan mendengarkan semuanya dengan senang hati. Aku senang jika kau mau terbuka denganku. Dan mungkin bila nanti saatnya tiba, aku juga akan terbuka padamu. Aku juga akan memberitahumu tentangku. Tapi maaf, untuk saat ini aku masih belum bisa." Ia menjawab dengan nada yang sangat ku suka. Dia mau mengerti. Aku bahagia dan bersyukur menyukai dan mengagumi orang sepertinya. Aku yakin dia akan menjadi miliknya suatu saat nanti. Aku akan berusaha. Dengan semangat 45, aku memulai ceritaku yang sebenarnya membuatku tak nyaman untuk berbagi dengan orang lain. Tapi dia Anugrah. Aku akan menceritakan apapun padanya jika ia mau mendengar. Aku ingin dia mengenalku lebih jauh meskipun ia tak ingin.
.
.
To be continued......

Wednesday, November 5, 2014

Cerpen Berchapter {Anugrah (Chapter 1)}

Aku cemas, takut, khawatir. Dia datang, dia yang selama ini ku harap tak pernah datang. Aku menunggunya, namun aku tak ingin dia datang saat ini. Dia akan mengangguku, mengganggu otakku, mengganggu konsetrasi ku, membuyarkan duniaku yang tenang dan damai.
Tapi dia telah terlanjur datang, tak mungkin aku menendangnya keluar, bukankah tak sopan jika kita mengusir orang yang datang? Tapi ini berbeda, dia bukan tamu biasa. Jika dia datang, dia tak akan berfikir untuk pergi untuk waktu yang lama. Tuhan, bantu aku membuatnya pergi.
Orang yang ku maksud datang berkunjung bukanlah seorang tamu yang datang ke rumahku, terlalu berlebihan jika seorang tamu bisa mengganggu ku sebegitu jauh. Tak mungkin. Tamu itu adalah tamu yang tak ku inginkan. Tamu itu tak mengetuk pintu rumah, tapi ia mengetuk pintu hatiku. Dan membuatnya terbuka. Lalu ia masuk dan diam di sana dalam waktu yang tak sebentar. Aku tak tau hingga kapan ia bertahan di sana.
Anugrah. Begitulah orang-orang lazim memanggilnya. Anugrah, namanya terlalu mencolok, memperlihatkan betapa orangtuanya menganggap dia Anugrah dari Tuhan. Ku rasa memang tak salah, nama itu cocok untuknya. Dia bagai anugrah Tuhan yang diturunkan untuk umat manusia. Pria itu tinggi semampai, saat ia berbicara, seluruh ruangan bergema. Bukan ruangan kelas, tapi ruang di hatiku. Parasnya tak membuat murung saat melihatnya, tapi tak juga membuat begitu berbunga-bunga, cukup tampan. Bisa dilihat dari kacamata yang dikenakannya, ia tipe orang yang sangat menggilai buku. Sering membaca buku namun tak ada yang menyebutnya kutu buku, karena dia membaca buku di waktu dan tempat yang tepat, tidak dengan membawa buku kemanapun ia pergi. Seringkali ku lihat ia membaca sebuah buku tentang dasar ilmu kedokteran di saat senggang setelah menyelesaikan tugas yang diberikan guru. Tidak hanya sampai di sana anugrahnya, ia juga pandai berinteraksi dengan orang-orang disekitarnya, di kalangan guru, ia terkenal sebagai murid yang ramah dan berprestasi, dikalangan siswa ia juga dikenal pandai membaca situasi dan kondisi, sehingga berbicara apapun dengannya pasti nyambung. Saking pandainya berinteraksi, ia membuat banyak gadis yang mengenalnya jatuh hati. Termasuk aku. Yap! Anugrah telah berhasil mengetuk pintu hatiku dan masuk ke dalamnya. Meski begitu, aku tak tahu, dan aku tak yakin akan berhasil mengetuk pintu hatinya dan masuk ke sana. Aku merasa itu seperti mengetuk pintu istana yang begitu megah dan penuh dengan sistem keamanan yang ketat. 
"Rista...." Sebuah suara tiba-tiba menghancurkan lamunanku yang sudah terbang terlalu jauh. Suara itu sangat ku kenal sepertinya, aku terperanjat saat mendongak dan melihat siapa gerangan yang mengusik lamunanku. Ternyata ia tak hanya mengusik lamunanku, ia juga sudah mengusik ketenanganku.
"Kenapa sebegitu kagetnya? Kau melihatku seperti hantu. Bisakah kau ubah pandanganmu itu? Matamu terlalu membulat seperti akan meninggalkan tempatnya. Kau sedang melamunkanku?" Dalam hati aku menjawab "ya" tapi tentu saja itu takkan ku perjelas dengan lidahku. "Kenapa aku harus melamunkanmu? Aku sedang melamunkan......"
"Ah, sudahlah, kenapa harus membicarakan lamunanmu? Memangnya aku peduli? Kalaupun kau melamunkanku, aku takkan menyalahkanmu karena aku tahu aku sering dilamunkan banyak wanita, terutama wanita yang sok jutek sepertimu, Hahahah" Tawanya lepas, aku terperangah. Hampir saja aku terkena tebaran pesonanya. Untung aku mengingat kata-kata yang keluar dari mulutnya sebelum tawanya memecah keheningan ruangan, ruang dihatiku tentunya. Huuhh, dasar pria ini, menyebalkan. Aku tak habis fikir, dulu saat awal menjadi teman seruangan di sini, aku sangat membencinya. Dia terlihat sok akrab dan gampang sekali berbaur dengan yang lain, siapapun yang berguyon dengannya, pasti terselip tawa, dan tawanya begitu bergema, suaranya terlalu berisik untukku. Dan entah sejak kapan dia yang dulu adalah makhluk ter-menyebalkan bagiku menjadi makhluk yang sangat ku harapkan menjadi jodohku kelak. Harapan yang konyol, tapi menurutku itu lumrah dikalangan remaja seusiaku. Karena usiaku adalah usia remaja labil, 16 tahun.
"Hey, kenapa malah melanjutkan lamunan? Aku di sini, di depan matamu, tak perlu kau lamunkan" kedua kalinya ia membuatku melamun lalu membuyarkannya.
"Ah dasar" gerutu ku. Aku diam sejenak. Ku lihat sekitarku, tak begitu banyak orang di sini, banyak siswa yang sedang jajan ke kantin. Aku berfikir berulang kali untuk melakukan apa yang ada di otakku. Hal gila, hal bodoh. Tapi aku tak bisa mengendalikannya, dan mungkin aku takkan memiliki kesempatan lagi. Tanpa banyak memperhitungkan kelogisan, aku memulai hal itu.
"Anugrah, aku ingin bicara sesuatu, ini bukan lelucon" ucapku membuka mulut.
"Bicara soal apa? Aku akan mendengarkan" balasnya.
"Aku tau ini tak wajar, aku tau aku bodoh mengatakan ini, tapi aku hanya ingin kau tahu. Aku menganggapmu lebih dari sekedar seorang teman. Aku selalu berharap bisa mengenalmu lebih dekat, tapi ku rasa kau tak menginginkannya. Aku minta maaf sudah berkata begini, aku tau kau tak mungkin peduli apalagi memiliki perasaan yang sama untukku. Tapi aku tak peduli itu. Aku hanya ingin menyampaikan apa yang hatiku katakan. Maaf jika topik pembicaraanku ini mengganggumu"
Ku tatap mimpi dan harapanku itu lekat-lekat, aku memang sangat berharap padanya, tapi aku tau itu tak mungkin, banyak gadis lain yang lebih baik dariku. Lebih tinggi, lebih cantik, lebih pintar, dan lebih menarik untuknya. Aku bertekad untuk tak berharap banyak padanya.
"Aku tahu. Aku tahu kau ingin mengenalku lebih dekat. Sebenarnya kau tak perlu mengenalku lebih. Kau akan membenciku jika kau lebih mengenalku. Aku tak se-'perfect' yang kau kira. Aku merasa aku masih harus lebih banyak belajar dan berusaha untuk menjadi pria-mu"
Aku terhening. Tak tahu apa yang harus kuucap, dan tak mengerti apa maksudnya. Apakah dia tak menyukaiku? Atau dia juga menyukaiku? Jika tidak, mengapa ia merasa harus lebih banyak belajar untuk menjadi pria-ku. 'Pria-ku'???
To be continued....

Saturday, September 13, 2014

Tekad Mei (Cerpen)

Assalamu'alaikum... ^-^ Kali ini saya mau posting cerpen buatan saya lagi. Cerpen ini saya buat waktu dikasi tugas Seni Budaya. Disuruh membuat cerpen tentang Sosial, tapi ada beberapa bagian yang saya tambahkan dan edit lagi dari tugas saya waktu itu. Dan lagi-lagi tokohnya adalah Mei. Mungkin konfliknya sudah umum, karena berkaitan dengan sosial dan waktu untuk membuatnya terbatas, jadi hanya bisa bikin cerpen yang seperti ini.Selamat membaca, semoga suka.



Tekad Mei


                Mei menghela napas panjang, ia lalu menyeka keringat yang membanjiri dahinya. Lelah, itulah yang ia rasakan. Namun ini sudah menjadi kegiatan rutin Mei, berada di depan penggorengan sejak pukul 3 dini hari. Mempersiapkan makanan untuk didagangkan. Ia bukan seorang penjual makanan di pasar, tetapi ia hanya seorang pelajar SMA yang juga berjualan di kantin saat jam istirahat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
                Matahari semakin naik dan mulai memancarkan cahayanya. Hari sudah menunjukkan pukul 06.15. Mei sudah selesai dengan tugasnya di rumah, membangunkan adiknya yang masih berada di sekolah tingkat dasar dan mempersiapkan makanan untuk bekal makan siang adiknya dan tentu untuk dirinya sendiri. Kini saatnya Mei untuk berangkat ke sekolah dengan membawa sebuah kotak plastik berukuran cukup besar berisi makanan yang akan dijajakannya di kantin sekolah nanti.
                Sebenarnya, Mei adalah murid yang cukup berprestasi di sekolahnya. Belum pernah ia mendapat nilai ulangan di bawah angka 80. Ia bahkan sering menang dalam olimpiade tingkat provinsi. Meskipun bisa dibilang Mei cukup berprestasi, namun tetap saja ia kesulitan membayar uang sekolahnya. Karena untuk mendapatkan beasiswa dari sekolah, dibutuhkan keterangan dari orang tua siswa dan juga surat keterangan tidak mampu. Mei tidak mungkin bisa memenuhi syarat-syarat itu. Karena kedua orang tuanya sudah tidak tinggal serumah lagi dengannya. Hal itu terjadi sejak 3 tahun lalu, saat orang tuanya memutuskan untuk berpisah. Mereka sudah tak bisa lagi sejalan dalam berfikir, terlalu sulit menyatukan pendapat dalam keadaan ekonomi yang kritis. Dan akibat insiden itu, kini Mei dan adik semata wayangnya itu tinggal berdua di rumah kecil milik pamannya. Meski sudah memberikan tempat tinggal, pamannya tak pernah datang mengunjunginya untuk sekedar bertanya kabar. Mei tak tahu kemana hilangnya keluarga dari kedua belah pihak orang tuanya. Tak ada satupun dari mereka peduli pada Mei dan adiknya. Terkadang Mei berharap suatu saat ayah dan ibunya datang mengunjunginya. Tapi Mei tahu itu mustahil.
                Meskipun hidup dalam kekurangan, Mei selalu bersyukur masih bisa menuntut ilmu dengan baik. Ia juga merasa beruntung memiliki keunggulan dalam nilai sekolahnya. Meskipun miskin harta, setidaknya bisa kaya ilmu. Begitulah fikir Mei. Mei juga merasa beruntung memiliki seorang adik yang selalu menemaninya di rumah. Meskipun bisa dibilang itu juga menambah beban Mei untuk mencari uang untuk biaya sekolah dan makan sehari-hari untuk dirinya dan adiknya. Tapi Mei bertekad akan berusaha keras untuk menjadi orang sukses dan mendapat pendidikan yang tinggi serta bisa menyekolahkan adiknya hingga tingkat perguruan tinggi pula. Mei tahu dengan tekadnya itu berarti ia tak boleh menyerah dengan keadaan, ia harus terus mencari penghasilan agar bisa mencukupi kebutuhan sehari-harinya. Mei  tak akan menyerah, tekadnya tak akan kalah dengan keadaan. Ia ingin suatu hari nanti kedua orang tuanya datang menemuinya dan merasa bangga padanya. Meski Mei tahu itu akan sulit.

TAMAT

Bagaimana? Tolong kasi kritik dan tanggapannya ya. Terima kasih sudah membaca.

Tuesday, June 17, 2014

Cerpen [Menggapai Cahaya]

Assalamu'alaikum.. Ini postingan pertama saya, saya bikin cerpen ini karena dapet tugas B. Indonesia. Cerpen ini terinspirasi dari beberapa anime favorit saya, ada kata-kata yang saya kutip dari anime itu, saya ambil inspirasinya dari anime Sukitte Ii Na Yo dan anime 5cm per second. Cerpen ini cerpen kedua saya, tapi cerpen pertama saya sepertinya kurang layak di post. :D Langsung aja ya ini cerpennya, mohon maaf kalo kurang menarik. Tolong komentarnya setelah baca ya.
happy reading ^^

MENGGAPAI CAHAYA

Mei sedang berpetualang di alam mimpinya hingga sebuah suara menyadarkannya. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya, mencoba memperjelas pandangan dan pendengarannya.
“Mei, bangunlah. Mau sampai kapan kau tidur? Sudah seminggu di Jepang tapi kau tak mau keluar rumah. Ini Osaka Mei. Bersemangatlah sedikit.”
“Ah Mama, Mei tidak mungkin bisa bersemangat, pindah ke sini bukan keinginan Mei. Mama taukan Mei benci tempat baru?” Mei menjawab seraya bangkit dari tempat tidurnya.
“Tempat baru atau tempat lama itu sama aja. Toh di Bandung pun kau tak punya teman kan?” Mei kehabisan kata-kata untuk berargumen dengan Mamanya.
Mei. Itulah nama gadis cantik berambut pendek sebahu, bermata indah, berkulit putih, dan prestasinya dalam belajar juga tidak diragukan lagi. Jika mendengar deskripsi tentangnya, orang-orang pasti akan berfikir bahwa ia adalah gadis idaman pria. Namun sayangnya tidak seperti itu. Ia tidak pernah mau berteman dengan siapapun. Ia benci berhubungan dengan orang lain. Karena ia tau teman hanya akan membuat terluka pada akhirnya. Dan karena prinsipnya itulah ia tidak memiliki teman apalagi pacar hingga usianya menginjak 16 tahun.
Mei menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Disinilah ia berpijak. Kitazawa High School. Salah satu sekolah terbaik di Osaka. Mei melangkahkan kakinya masuk melewati koridor sekolah dan mencoba mencari Ruang Guru. 10 menit berlalu, dan kini Mei sudah berada di kelas barunya.
Bel istirahat berbunyi. Mei beranjak dari tempat duduknya. Ia ingin berkeliling dan mencoba membiasakan diri dengan lingkungan yang baru. Saat menuruni tangga, tiba-tiba ia tergelincir dan tanpa sengaja menabrak seseorang dibawahnya.  Sesaat setelah mendarat, ia segera berdiri dan meminta maaf pada seseorang yang sudah menjadi tempat pendaratan Mei. Mei mengulurkan tangannya pada orang itu, bermaksud membantunya untuk berdiri. Tapi tak ada sambutan dari tangan orang itu. Orang yang ditabraknya yang ternyata seorang laki-laki itu malah bangkit sendiri dari jatuhnya. Ia terlihat meringis sambil memegangi tangan kanannya.
“Maafkan aku, aku benar-benar tidak sengaja. Apa kau terluka?” Mei meminta maaf sambil membungkukkan badannya.
“Apa kau bisa melihat dengan baik? Apa yang terjadi denganmu? Bisa-bisanya kau terpeleset dari tangga dan mendarat di tubuhku. Dasar—“ laki-laki itu tak jadi melanjutkan kata-katanya ketika matanya bertemu dengan mata Mei, ia tertegun. “Mata yang indah” gumamnya.
“Sekali lagi aku benar-benar minta maaf, aku memang ceroboh. Tapi tunggu, apa yang kau gumamkan tadi? Indah? Apanya yang indah?” Ucap Mei.
“Eh, oh itu, ti-tidak. Kau salah dengar. Sudahlah lupakan saja, lain kali kau harus lebih berhati-hati menuruni tangga. Kau dari kelas mana? Aku rasa ini pertama kalinya aku melihatmu. Apa kau siswa baru?” Tanya laki-laki itu. Nada bicaranya berubah ramah.
“Ah iya, aku memang siswa baru di sini. Perkenalkan, namaku Mei dari kelas 2-D” jawab Mei seraya mengulurkan tangannya.
“Namaku Ikki, dari kelas 2-A. Senang berkenalan denganmu.” Ikki membalas uluran tangan Mei dan tersenyum tipis. “Kau mau kutemani berkeliling sekolah ini?” Ikki menawarkan dirinya.
Belum sempat Mei menjawab, seseorang menghampiri Ikki dan berbisik padanya.
“Kenapa kau bersamanya? Kau tau? Dia bukan pindahan dari sekolah di Jepang. Dia dari Indonesia. Kau tau kan? Kebanyakan penduduk Indonesia memiliki kepribadian yang buruk. Lihat saja dia itu. Pandangannya terlihat kosong dan suram.”
Ikki tak menjawab, justru seutas senyum terlihat di bibirnya. Ia semakin menarik. Aku ingin lebih dekat dengannya. Aku ingin dia menjadi seorang yang periang dan disukai banyak orang.
Ikki tak menghiraukan perkataan orang tadi. Ia justru menarik Mei dan membawanya berkeliling sekolah. Di sepanjang koridor sekolah, selalu ada siswa perempuan yang menyapanya. Mereka terlihat kegirangan saat Ikki membalas sapaannya dengan senyuman manisnya. Mei yang sedari tadi berada di sampingnya merasa aneh. Sepertinya Ikki populer di sekolahnya, lalu apa yang ia lakukan? Kenapa ia bersama Mei? Mei tau dirinya tak diterima dengan baik di lingkungan barunya ini. Mei tau bahwa siswa pindahan dari luar Jepang sering dikucilkan. Karena itu ia menolak tawaran Mamanya untuk pindah ke negeri sakura ini. Negeri impian banyak orang, tapi tidak untuk Mei. Menurutnya, di negeri manapun ia berada. Lingkungan tak pernah berubah, terus berusaha membuat Mei keluar dari lingkungan itu.
Sudah beberapa minggu Mei berada di Osaka, di sekolah barunya. Awalnya ia berfikir keadaan takkan berubah. Ia akan dikucilkan lagi dari pergaulan. Namun opininya salah kali ini. Sejak hari pertama di sekolah baru, Mei selalu ditemani oleh Ikki. Ikki selalu ada di sampingnya. Mei tak mengerti mengapa Ikki selalu mengikutinya. Meskipun Ikki dan Mei berbeda kelas, tapi Ikki selalu mengunjungi Mei saat waktu istirahat. Ikki selalu menunggu Mei di depan rumahnya untuk berangkat ke sekolah bersama, Ikki selalu mengajak Mei untuk pulang bersama. Bahkan Ikki sering membawa Mei ke pusat kota. Ikki seolah memperkenalkan dunia pada Mei. Dunia yang berbeda, dunia yang tak pernah Mei ketahui dan tak pernah ada niat untuk mengetahuinya. Namun dunia itu kini seolah menerimanya dengan baik sejak Ikki bersamanya.
5 cm per detik. Kelopak bunga berwarna merah muda berjatuhan menyentuh perpijakan kota Osaka. 5 cm per detik. Bunga-bunga itu meluncur meninggalkan peradaban yang telah membuatnya ada. Bunga ini mengisi langit kota-kota di Jepang seperti salju yang berjatuhan. Sakura. Bunga indah ini memang tak salah dijadikan julukan negeri ini. Karena selalu mengisi langit-langit negeri ini setidaknya sekali dalam setahun. Mei sedang duduk di taman sekolah, menunggu Ikki untuk makan bekal mereka bersama. Entah mengapa sekarang keadaannya berubah. Bukan lagi Ikki yang terus menunggu Mei untuk janjian di suatu tempat. Kini Mei-lah yang menunggu. Mei tak menyadari sejak kapan ini terjadi. Sekitar 5 menit Mei menunggu, Ikki akhirnya datang. Mereka lalu makan bersama, kemudian sunyi. Mereka tak berbicara sepatah kata pun. Hanya perasaan dalam dada mereka yang berbicara. Mei menatap Ikki dalam, diperhatikannya laki-laki itu memasukkan sedikit demi sedikit makanannya. Setelah menghabiskan bekalnya, terlihat ia mengeluarkan sebuah pil. Pil itu sering diminumnya. Mei tak tahu pil apa itu, ia tak pernah menanyakannya. Mungkin itu hanya suplemen. Mengingat betapa proporsionalnya tubuh yang Ikki miliki, meskipun Mei merasa akhir-akhir Ikki menjadi lebih kurus. Ikki menatap Mei yang sedang memperhatikannya, ia tersenyum lalu mengelus lembut rambut Mei yang mulai panjang itu. Mei tersipu, ia menunduk menyembunyikan semburat merah di wajahnya. Mei senang dengan perlakuan Ikki yang seperti ini, perhatian, hangat dan penuh kasih sayang. Mei rasa ia telah terlalu banyak berharap pada Ikki.
1 tahun berlalu. Mei merenung di kamarnya. Ia merasa sesuatu yang berharga telah menghilang. Ikki. Mei tak tau apa yang terjadi pada orang yang telah mengubah dunianya itu. Ikki menghilang. Tak ada kabar sama sekali. Mei ingin menghubunginya namun tak bisa, Mei mencoba bertanya pada teman-teman dekat Ikki, tapi mereka pun tak tau.
Ikki, kau dimana? Apa kau baik-baik saja? Apa kau masih mengingatku?
Mei sibuk menulis sebuah surat. Surat yang akhir-akhir ini sering sekali ia buat, namun tak pernah ia kirimkan. Ia tak tau kemana harus mengirimnya. Ia tak tau kemana perginya orang yang telah merebut hatinya. Orang itu dengan sembrono merebut hati Mei lalu pergi begitu saja. Tak membalasnya, tak juga menolaknya. Mei menyesal. Menyesal sudah membuka diri dan membuka hatinya untuk Ikki. Mei menyesal, mengapa ia bisa terjebak? Bukankan ia tau jika berhubungan dengan orang lain akan membuat luka? Lalu mengapa ia berhubungan dengan Ikki? Ikki memang baik, terlalu baik padanya, terlalu sempurna untuknya. Dan inilah yang ia dapatkan,  ia benar-benar terluka. “Kau ini bodoh sekali Mei, terjun ke dalam jurang yang sudah kau ketahui kedalamannya” Mei mengutuk dirinya sendiri.
“Apa yang kau lakukan Mei, dari tadi Mama memanggilmu kau tak menjawab. Dan lagi, kenapa kau tak pergi ke sekolah? Apa kau sakit?” Mama Mei menyadarkan Mei dari lamunannya.
“Ah Mama mengganggu Mei saja. Mei ingin sendiri sekarang. Tolong jangan ganggu Mei. Mei butuh ketenangan” Mei menjawab dengan wajah seperti baju yang belum disetrika. Kusut dan kalut.
“Begitu rupanya. Mama kira kau sudah tak senang lagi mengurung dirimu sendiri seperti ini sejak Ikki bersamamu. Ah iya, Mama hampir lupa. Ini ada surat darimu. Entah siapa yang masih menggunakan hal seperti ini untuk berkomunikasi di zaman yang sudah sangat canggih.” Mama Mei memberikan sebuah amplop biru yang terekat rapat oleh lem, kemudian ia berlalu meninggalkan Mei. Mei meraih amplop itu, membukanya perlahan. Matanya terbelalak membaca surat itu.
Untuk Mei.
Halo Mei. Bagaimana kabarmu? Apa kau baik-baik saja? Aku harap kau selalu baik. Maafkan aku Mei. Aku tau pasti saat ini kau sedang merenung memikirkanku bukan? Hehe. Maafkan aku membuatmu khawatir. Aku tak bermaksud menyakitimu. Kau tau kan? Aku sangat menyayangimu. Karena itu aku membawamu ke dalam pergaulan.
Saat pertama aku bertemu denganmu, ada yang aneh denganku. Aku merasa harus bersamamu, aku ingin selalu bersamamu dan membuatmu ceria. Kau lebih cantik saat kau tersenyum.
Mei, aku mohon kau jadilah gadis yang periang seperti saat aku bersamamu. Ku mohon. Aku ingin melihatmu bahagia dari sini. Di tempatku berada, aku bisa melihatmu menangis. Dan itu sangat menyakitiku. Mei berhentilah memikirkanku. Aku akan selalu ada untukmu. Di hatimu.
Maaf karena ragaku tak lagi bisa di sampingmu. Kau tau? Aku sering meminum sebuah pil. Kau pasti mengira itu hanya vitamin. Tapi sebenarnya pil itulah yang membuatku hidup. Tapi lama-kelamaan jantungku sudah tak bisa lagi ditolong oleh pil itu.
Sekali lagi Mei, kumohon jadilah gadis periang, buatlah aku tersenyum dari sini. Aku mencintaimu, Mei.
                                Ikki

                Tak terasa buliran-buliran menetes dari matanya. Buliran itu bahkan berubah menjadi aliran yang deras. Mei tak bisa membendung tangisannya, dadanya sesak. Ia tak menyangka Ikki meninggalkannya begitu cepat. Dibalik tangisannya, tersungging seutas senyuman. 
Terima kasih Ikki, kau telah mengenalkan dunia padaku. Duniamu, dunia yang membuatku merasa tak ada yang perlu dikhawatirkan. Terima kasih sudah menjadi cahaya yang membuat hidupku menjadi lebih terang.  Aku tau kau tak mungkin selamanya bisa berada di sisiku. Dan aku tau kau terlalu terang untukku. Aku takkan pernah bisa menggapaimu. Menggapai cahaya hatimu.

TAMAT

bagaimana? tolong kritik dan sarannya di komentar ya