Tuesday, February 10, 2015

Cerpen Bahasa Indonesia | Secarik Kisah


Assalamu'alaikum.. Seperti biasa saya kali ini mau posting cerpen yang lagi-lagi saya buat untuk tugas mata pelajaran Bahasa Indonesia. Tadinya ini ingin dibukukan, tapi saya batalkan dan memilih membukukan cerpen Anugrah yang saya posting sebelumnya dengan pemeran utamanya yang saya ganti namanya menjadi Risya. Bismillah, selamat membaca, semoga menghibur
Secarik Kisah
Ia cukup jauh dari pelupuk mataku, tapi aku bisa melihatnya dengan cukup jelas dari sini. Lagipula nyaliku tak cukup kuat untuk melihatnya dengan jarak lebih dekat. Entah kapan tepatnya, mataku selalu terpaku melihatnya. Yang ku lakukan hanya bisa memandangnya dan berbicara sendiri betapa aku mengaguminya.
Aku tak tahu siapa namanya, berapa usianya, di mana ia berteduh dari panas dan hujan, siapa yang membuatnya ada di dunia ini, atau secuil informasi dan data tentang dirinya.  Yang ku tahu hanyalah kami memiliki hobi yang sama, duduk berdiam di ruangan dengan banyak sekat menjulang seraya menatap deretan huruf di lembaran-lembaran kertas yang telah disusun rapi hingga menjadi sebuah bahan bacaan. Ya, benar. Kami suka membaca. Meskipun buku yang ku baca sangat jarang memberikan informasi tentang keilmuan. Aku lebih senang membaca buku untuk menghibur diri. Di sela rak-rak menjulang di perpustakaan umum inilah tempatku menghibur diri.
Rasa haus ingin mengenal siapa dirinya yang selama sebulan terakhir ini menarik perhatianku kini memuncak. Ia sudah menjadi tamu untukku. Bukan tamu yang datang berkunjung ke rumahku, tapi tamu yang berkunjung ke hatiku yang selama ini sunyi. Dan mungkin aku takkan salah jika mencoba untuk mengenalnya.
Sesungguhnya aku tak begitu percaya selain pada diriku sendiri. Begitu sering aku mendapat pengkhianatan dari orang-orang yang dulu sering ku sebut “sahabat”. Sebagian besar dari mereka tak pernah bisa menjaga rahasiaku dengan baik. Sehingga aku lebih memilih menjadikan buku sebagai sahabatku.
Ku hela nafas cukup panjang berkali-kali. Mungkin setidaknya itu sudah ku lakukan selama 5 menit terakhir. Ku akhiri pada menit ke-5 ku. Inilah saat yang tepat, hari ini dia yang biasanya membaca buku tentang ilmu kedokteran hanya membaca sebuah komik dari serial kartun yang mungkin menjadi favoritnya. Shinchan.
“Ehem, tumben kak bacaannya yang seperti itu” ucapku seraya mencoba mengakrabkan diri.
“memangnya kenapa? Kau tahu apa yang biasa ku  baca? Bagaimana bisa? Kau memperhatikanku? Memata-mataiku atau…..”
“bukan kak, bukan… perpustakaan ini sudah menjadi rumah ketiga ku. Aku sering ke sini setidaknya 2 kali dalam seminggu selama 2 tahun terakhir. Dan sebulan terakhir ini aku sering melihatmu membaca buku tentang kedokteran yang sangat jarang dibaca atau dipinjam pengunjung, lihat saja., buku-buku itu masih begitu mulus seperti wanita yang sering mengantarmu kemari…” tiba-tiba saja orang yang ku panggil dengan sapaan ‘kakak’ itu mengalihkan perhatian dari buku yang ia baca. Bodoh. Saking penasarannya, aku sampai membeberkan hal yang tak perlu. Aku bungkam. Tak berani menatapnya. Tapi kemudian sebuah tangan terulur di hadapanku. Ku miringkan kepalaku lalu ku tatap wajahnya. Ia tersenyum lalu membuka mulut
“seperti dugaanku, kau memperhatikanku dengan baik. Aku bukan patung yang membaca buku di sini, aku bisa merasakan kau sering memperhatikanku. Salam kenal, namaku Alex Hansa. Mungkin namaku terlalu asing dan lebih cocok untuk orang non-Indonesia, tapi begitulah yang tercantum dalam akta kelahiranku. Aku lahir pada hari sabtu tepatnya 18 tahun yang lalu, zodiakku Taurus, tinggi badan sekitar 178 cm, ukuran sepatu……”
“stop! Kakak Alex yang baik, apa yang .sedang kau lakukan? Kau memperkenalkan diri atau ingin pidato riwayat hidupmu? Salam kenal juga, namaku Rista. Aku masih bocah yang akan di akui sebagai penduduk Negara Indonesia yang sah sekitar 2 bulan lagi, dan akan lulus dari SMA Harapan tahun ini” jawabku seraya membalas uluran tangannya.
“HAHAHA.. ku kira informasi yang ku berikan itu sudah merupakan kewajiban bagi perempuan yang tertarik pada laki-laki untuk mengetahuinya” ia sedikit agak terkekeh.
“ah iya, bukankah tadi kakak bilang kakak lahir 18 tahun yang lalu? Mengapa tak menyebutkan tanggalnya? Apa jangan-jangan bertepatan dengan hari ini?” tanyaku penasaran.
“ya kira-kira seperti itulah”jawabnya seraya tersenyum. Aku lalu mengucapkan sepatah-dua patah kataku untuknya, dan berencana akan memberikannya hadiah sebagai tanda perkenalan dan untuk ulang tahunnya hari ini.
Rasa haus informasi tentang siapa dirinya kini sudah terpuaskan. Senyum tak pernah lepas dari bibirku. Aku senang bisa benar-benar mengenalnya. Setelah berkenalan, kami sedikit berbincang. Namun tak bisa terlalu banyak karena kami berada di tempat yang  tidak seharusnya menjadi tempat perbincangan. Kami memutuskan meneruskan perkenalan di luar perpustakaan. Ia mengajakku mampir ke rumahnya yang ternyata tak begitu jauh dari rumahku. Aku mau saja karena ia berkata aku akan mendapat teman baru. Yaitu adiknya yang berusia sama denganku, namu n sudah tak lagi mengenyam pendidikan.
Aku memasuki rumah itu dengan berhati-hati. Aku memang tertarik pada kak Alex, tapi aku baru mengenalnya hari ini, bisa saja ia tak sebaik yang aku fikir. Tapi kemudian kewaspadaanku memudar begitu melihat seorang perempuan seusia ku duduk di kursi tamu. Wajahnya tampak tak begitu baik. Pucat. Namun ia memberikanku seutas senyuman di bibirnya begitu mata kami bertemu. Ia seperti kak Alex versi wanita, parasnya cantik, rambutnya terurai melebihi bahunya.
Ku sapa adik kak Alex itu, lalu kami berkenalan. Namanya Erika Hime. Seperti kak Alex, namanya juga non-Indonesia. Padahal mereka berdua orang Indonesia asli. Sayangnya, Erika berkata ia sudah tak mungkin lagi untuk bersekolah, jika tidak mungkin kami sudah menjadi sahabat baik di sekolah.
Dua bulan berlalu. Kini aku sudah kenal baik dengan Kak Alex dan Erika. Kak Alex ternyata bukanlah dari keluarga yang berada, hidupnya serba pas-pasan. Ibunya meninggal saat melahirkan Erika dan ayahnya meninggal karena insiden tabrak lari dengan sebuah truk tronton. Sedangkan lima bulan yang lalu Erika divonis mengidap tumor otak sehingga ia memilih untuk tidak melanjutkan sekolah Karena sudah terlalu banyak ketinggalan pelajaran dan sulit untuk mengejar ketertinggalannya, Erika merasa kasihan pada Kak Alex yang bersusah payah membantu biaya sekolah Erika. Karena penyakit Erika itulah kini Kak Alex berusaha keras agar bisa menjadi seorang dokter.  Namun, karena pendidikan kedokteran itu terlampau mahal, Kak Alex berusaha mempersiapkan dirinya terlebih dahulu dengan membaca buku-buku tentang ilmu kedokteran di perpustakaan umum agar kemudian bisa mengikuti tes untuk mendapatkan beasiswa. Meskipun Kak Alex tahu usahanya tak mungkin membuahkan hasil secara instan dan mungkin tetap akan sulit untuk bisa menyembuhkan adik tersayangnya itu, tapi setidaknya Kak Alex bisa mengetahui bagaimana sebenarnya penyakit-penyakit berat yang di derita orang yang senasib dengan adiknya, dan mungkin suatu saat ia bisa menjadi perantara Tuhan untuk menyembuhkan penyakit-penyakit itu.
Kegigihan Kak Alex itu mengubah perasaanku. Aku yang pada awalnya hanya tertarik padanya kini menjadi lebih sayang padanya. Kini aku sering membawakan makanan untuk Kak Alex dan Erika. Terkadang itu hasil kerja tanganku sendiri, terkadang aku membelinya. Orangtua ku juga sudah tahu tentang Kak Alex dan Erika, sesekali Ibuku datang ke rumah Kak Alex untuk sekedar berbincang. Ibu juga ingin memberikan kasih sayangnya pada Erika dan Kak Alex.
Hari ini aku akan mengikuti ujian masuk ke perguruan tinggi, begitu juga dengan Kak Alex. Meskipun berbeda Universitas dan jurusan tentunya. Karena aku tak begitu menyukai nama-nama latin yang digunakan dalam ilmu kedokteran. Aku mengikuti ujian untuk masuk ke Universitas dengan jurusan Bahasa Inggris, karena hanya dalam Bahasa Inggris lah aku unggul. Karena rumahku dan rumah Kak Alex tak begitu jauh dan Universitasnya pun searah, aku berniat untuk mengajak Kak Alex berangkat bersama dengan kedua orangtuaku. Namun, begitu sampai di rumah Kak Alex, aku dan kedua orangtuaku terkejut melihat Kak Alex yang hanya mengenakan pakaian rumah, tak ada persiapan sama sekali hanya mondar-mandir di depan rumahnya.
“Kak, kenapa tak bersiap-siap? Ujiannya tinggal satu jam lagi” tanyaku pada Kak Alex.
“Sepertinya aku takkan mengikuti ujiannya” jawab kak Alex dengan wajah muram. Mimik cemas sangat terlihat di wajahnya.
Seperti yang dikatakannya, Kak Alex ingin membatalkan menjadi peserta ujian masuk ke Universitas yang sudah diperjuangkannya selama 4 bulan terakhir ini. Alasannya karena Erika yang terlihat tak cukup baik hari ini, ia perlu dibawa ke rumah sakit untuk mendapat penanganan lebih lanjut. Tapi aku dan kedua orangtua ku berusaha membangkitkan semangat Kak Alex. Erika pun begitu. Akhirnya Kak Alex mau mengubah keputusannya dengan jaminan Erika akan dibawa ke rumah sakit oleh kedua orangtuaku dan biaya rumah sakit akan dilimpahkan pada orangtuaku.
Empat pekan telah berlalu, hari ini saatnya pengumuman kelulusan masuk Universitas. Betapa bahagianya mendapat kabar aku dan Kak Alex diterima menjadi seorang mahasiswa di tahun ajaran berikutnya. Namun kebahagiaan itu tak bisa menjadi kebahagiaan yang hakiki. Karena hari ini lagi-lagi Erika masuk rumah sakit, padahal sejak bulan lalu diboyong ke rumah sakit ia sudah menjalani terapi sebanyak 6 kali. Terapi itu sepertinya tak membuahkan hasil. Hatiku tersayat melihat Erika yang begitu tersiksa karena tumor yang menggerogoti otaknya itu. Tapi tak ada yang bisa ku perbuat. Bahkan Kak Alex sudah pasrah, tumor itu sudah mencapai stadium 4 dan sulit ditangani. Kak Alex merasa ini semua salahnya karena tak pernah mampu memboyong Erika ke rumah sakit untuk mendapat perawatan medis.
Aku duduk di sisi kanan tempat Erika berbaring dengan kedua orangtuaku, sedangkan Kak Alex duduk di sisi kirinya. Dokter meminta kami sebagai orang terdekat Erika untuk terus berada di sisinya. Aku mengoceh berusaha menguatkan Erika dan memberinya semangat hidup.
“Erika… kau tahu kan aku dan Kak Alex berhasil diterima untuk mengenyam pendidikan di Universitas tujuan kami. Tidakkah kau senang mendengarnya? Aku akan lebih bahagia jika kau bisa bebas dari penyakitmu itu. Kau harus melawannya, jangan menyerah Erika. Kau tahu hanya kau sahabat yang bisa ku percaya, hanya janji mu yang bisa menjadi janji yang terjamin. Aku mohon jadilah sahabatku selamanya, jangan pergi secepat ini” ucapku dengan buliran-buliran air yang tak bisa lagi ku bendung dari kedua pelupuk mataku.
“Rista benar, Erika. Tak maukah kau melihat kakakmu ini mengenakan jas putih dengan stetoskop di leherku? Aku baru saja akan medekati posisi itu Erika…” Kak Alex mencoba tegar, ia mempererat genggaman tangannya pada Erika. Orangtuaku pun memberikan semangat pada Erika. Namun dengan sebisanya Erika menarik bibirnya membentuk seutas senyum. Senyum yang sebenarnya menyayat hatiku. Bagaimana mungkin senyum itu begitu manis untuk orang yang sedang terkulai lemas. Erika menggapai sebuah surat dibalik bantalnya. Dengan susah payah ia mencoba memberitahukan bahwa semua yang ingin ia sampaikan ada di dalam surat itu.
Aku tersenyum melihat foto yang baru ku cetak dari percetakan foto. Di foto itu aku mengenakan baju wisuda dengan menggandeng seorang pria berkacamata dengan jas putih serta stetoskop yang mengalung di lehernya, dan sekitar 8 cm lebih tinggi dariku. Siapa lagi kalau bukan Kak Alex. Kak Alex sudah lulus setahun lebih dulu dariku, karena otaknya yang terlalu encer. Tapi karena itu juga ia kini sudah di angkat menjadi dokter spesialis di rumah sakit yang cukup ternama.
Tiba-tiba terdengar lantunan lagu Back To December milik Taylor Swift dari dalam tasku. Segera ku raih dan ku jawab panggilan yang ternyata dari Kak Alex itu. Kak Alex menelfon untuk sekedar mengingatkanku pada janji kami sebelumnya.
Ku taburkan bunga-bunga di tempat peristirahatan terakhir Erika, lalu aku dan Kak Alex memanjatkan do’a untuk Erika agar ia tenang dan bahagia di alam yang kini berbeda dengan alamku. Selesai berdo’a, tiba-tiba saja Kak Alex meraih tanganku, memintaku untuk menatapnya.
“Rista, maafkan aku jika ini mungkin tak begitu romantis, karena ini pemakaman. Tapi aku ingin melakukannya di hadapan Erika. Aku ingin kau menjadi pendampingku hingga maut yang memisahkan kita” ujarnya serius. Aku terbelalak, tak menyangka ia akan mengatakannya. Tiba-tiba ia meraih saku jasnya, lalu dikeluarkannya sebuah kotak kecil, di bukanya di hadapanku, lalu di keluarkannya benda kecil lalu di sematkannya di jari manisku. Aku tersenyum bahagia lalu menghambur ke dalam pelukannya.


TAMAT


Bagaimana? Mohon maaf jika ada kesalahan dalam pengetikan atau ceritanya kurang menarik. Saya  hanya penulis amatir dan masih dalam tahap pembelajaran. Semoga berkenan meninggalkan komentar, saran dan kritiknya di jendela komentar. :) Wassalamu'alaikum Wr. Wb