Tekad Mei
Mei menghela napas panjang, ia lalu menyeka
keringat yang membanjiri dahinya. Lelah, itulah yang ia rasakan. Namun ini
sudah menjadi kegiatan rutin Mei, berada di depan penggorengan sejak pukul 3
dini hari. Mempersiapkan makanan untuk didagangkan. Ia bukan seorang penjual
makanan di pasar, tetapi ia hanya seorang pelajar SMA yang juga berjualan di
kantin saat jam istirahat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Matahari
semakin naik dan mulai memancarkan cahayanya. Hari sudah menunjukkan pukul
06.15. Mei sudah selesai dengan tugasnya di rumah, membangunkan adiknya yang
masih berada di sekolah tingkat dasar dan mempersiapkan makanan untuk bekal
makan siang adiknya dan tentu untuk dirinya sendiri. Kini saatnya Mei untuk
berangkat ke sekolah dengan membawa sebuah kotak plastik berukuran cukup besar
berisi makanan yang akan dijajakannya di kantin sekolah nanti.
Sebenarnya,
Mei adalah murid yang cukup berprestasi di sekolahnya. Belum pernah ia mendapat
nilai ulangan di bawah angka 80. Ia bahkan sering menang dalam olimpiade
tingkat provinsi. Meskipun bisa dibilang Mei cukup berprestasi, namun tetap
saja ia kesulitan membayar uang sekolahnya. Karena untuk mendapatkan beasiswa
dari sekolah, dibutuhkan keterangan dari orang tua siswa dan juga surat keterangan
tidak mampu. Mei tidak mungkin bisa memenuhi syarat-syarat itu. Karena kedua
orang tuanya sudah tidak tinggal serumah lagi dengannya. Hal itu terjadi sejak
3 tahun lalu, saat orang tuanya memutuskan untuk berpisah. Mereka sudah tak
bisa lagi sejalan dalam berfikir, terlalu sulit menyatukan pendapat dalam
keadaan ekonomi yang kritis. Dan akibat insiden itu, kini Mei dan adik semata
wayangnya itu tinggal berdua di rumah kecil milik pamannya. Meski sudah
memberikan tempat tinggal, pamannya tak pernah datang mengunjunginya untuk
sekedar bertanya kabar. Mei tak tahu kemana hilangnya keluarga dari kedua belah
pihak orang tuanya. Tak ada satupun dari mereka peduli pada Mei dan adiknya.
Terkadang Mei berharap suatu saat ayah dan ibunya datang mengunjunginya. Tapi
Mei tahu itu mustahil.
Meskipun
hidup dalam kekurangan, Mei selalu bersyukur masih bisa menuntut ilmu dengan
baik. Ia juga merasa beruntung memiliki keunggulan dalam nilai sekolahnya. Meskipun miskin harta, setidaknya bisa kaya
ilmu. Begitulah fikir Mei. Mei juga merasa beruntung memiliki seorang adik
yang selalu menemaninya di rumah. Meskipun bisa dibilang itu juga menambah
beban Mei untuk mencari uang untuk biaya sekolah dan makan sehari-hari untuk
dirinya dan adiknya. Tapi Mei bertekad akan berusaha keras untuk menjadi orang
sukses dan mendapat pendidikan yang tinggi serta bisa menyekolahkan adiknya
hingga tingkat perguruan tinggi pula. Mei tahu dengan tekadnya itu berarti ia
tak boleh menyerah dengan keadaan, ia harus terus mencari penghasilan agar bisa
mencukupi kebutuhan sehari-harinya. Mei
tak akan menyerah, tekadnya tak akan kalah dengan keadaan. Ia ingin
suatu hari nanti kedua orang tuanya datang menemuinya dan merasa bangga
padanya. Meski Mei tahu itu akan sulit.
TAMAT
Bagaimana? Tolong kasi kritik dan tanggapannya ya. Terima kasih sudah membaca.
TAMAT
Bagaimana? Tolong kasi kritik dan tanggapannya ya. Terima kasih sudah membaca.